UMKM dan Permasalahannya: Sebuah Renungan
Sejauh ini saya belum menemukan laporan studi yang bisa memberikan gambaran komprehensif dan holistik tentang wajah UKM Indonesia. Komprehensif yang dimaksud adalah gambaran menyeluruh yang tidak mereduksi persoalan UKM sebatas urusan akses keuangan yang berujung pada solusi kredit, manajerial, kebijakan yang tidak bersahabat, dan tumpang tindih program UKM yang dibuat berbagai lembaga. Sementara holistik menunjuk pada gambaran mendalam berbagai entitas bisnis yang dikategorikan sebagai UKM—bagaimana mereka lahir, menjalani masa pertumbuhan, hingga memasuki masa perkembangan.
Studi yang dilakukan OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development)—SME and Entrepreneurship Policy in Indonesia 2018—dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan)—Reforming Policies for Small and Medium-Sized Enterprises in Indonesia—dan studi-studi Pusat Analisis Sosial Akatiga antara lain—sebenarnya cukup informatif, tetapi masih banyak berkutat pada persoalan-persoalan institusional, regulasi, keuangan, dan manajerial.
Di sisi lain, terutama studi-studi yang diprakarsai NGOs lebih condong meletakkan persoalan UKM dalam konteks pengentasan kemiskinan. Sejauh pengamatan saya, sejak era 1980, 1990 hingga 2000-an, ada dua pendekatan yang biasanya dipakai: struktural dan kultural. Walapun kedua pendekatan itu secara paradigmatis berseberangan, tetapi diperlakukan sama. Kalangan NGOs cenderung memfokuskan perhatian pada inisiatif-inisiatif ekonomi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar (subsisten), terutama di pedesaan, dan mengabaikan inisiatif-inisiatif ekonomi dalam kerangka akumulasi modal.
Studi semacam itu tentu dibutuhkan, tetapi jika kita kembali merujuk UU 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (lihat tabel di bawah), belum mencukupi, karena spektrum UMKM lebih luas dari sekadar ekonomi subsisten. Sebagai contoh, dua unit bisnis yang berdasarkan kriteria UU 20 Tahun 2008 dikategorikan sebagai usaha mikro, tetapi karena motif pendiriannya berbeda, yang satu subsisten, sementara yang lainnya akumulatif, secara hipotetis kita bisa mengatakan, perbedaan tersebut akan melahirkan persona yang berbeda, dinamika persoalan dan cara penanganan yang berbeda pula. Untuk membuktikannya perlu ada kajian perbandingan.
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Kriteria | Usaha Mikro | Usaha Kecil | Usaha Menengah |
Kekayaan Bersih | Paling banyak 50 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha | Lebih dari Rp 50 juta rupiah hingga 500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha | lebih dari 500 juta rupiah hingga paling banyak 10 milyar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha |
ATAU | |||
Hasil Penjualan Tahunan | Paling banyak 300 juta rupiah | Lebih dari 300 juta rupiah hingga paling banyak 2,5 milyar rupiah | Lebih dari 2,5 milyar rupiah hingga paling banyak 50 milyar rupiah |
Perbandingan perlu dilakukan, terutama untuk memahami keragaman wajah UMKM secara memadai. Dengan begitu, kita lebih bisa menentukan kebijakan dan program apa yang tepat sesuai dengan karakter masing-masing UKM. Termasuk UKM mana yang harus mendapatkan prioritas penanganan.
Mudan-mudahan catatan pendek ini dapat memicu diskusi lebih dalam dan bertanggung jawab, sehingga perbincangan UMKM yang merebak sejak pandemi Covid-19 tak hanya menjadi euporia sesaat. Terima kasih.