Memaknai Kemerdekaan dengan Merdeka
“Setiap tahun, setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Sudah menjadi tradisi, sampai-sampai kita lupa untuk kembali bertanya, apakah benar kita sudah merdeka? Bahwa pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta membacakan teks Proklamasi, ya. Tapi hingga detik ini, kita belum merdeka dalam banyak hal. Kita berkumpul untuk belajar dimata-matai. Kita berdiskusi dicurigai. Kehidupan kita masih jauh dari merdeka. Kemerdekaan belum menjadi milik kita.”
Tidak sama persis, tapi kurang lebih seperti itulah sebagian isi pidato Mamat (bukan nama sebenarnya), ketua Karang Taruna di kampung saya pada peringatan 17 Agustus 1945 sekitar 19 tahun silam.
Pernyataan Mamat terbukti. Tak berselang lama dia dicap Neo-PKI. Phobia 1965 dihembuskan, desas-desus disebarkan, dicaplah kampung kami sebagai sarang Neo-PKI. Padahal sikap kritis Mamat adalah ekspresi terbuka seorang warga negara Indonesia memaknai kemerdekaan bangsanya.
Tahun 1998 Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa tanpa jeda. Kedudukannya diganti BJ. Habibie, berlanjut ke Abdurahman Wahid, diteruskan Megawati, lalu Soesilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo. Berganti-ganti presiden dan jajaran penyelenggara negara, kondisinya tak beranjak beda. PKI dan komunisme masih menjadi momok dan kerap dijadikan senjata untuk menentang sikap kritis seseorang.
17 Agustus 2015 tingggal beberapa hari lagi. Warga negara Indonesia kembali memperingatinya. Sudah sejak dua minggu saya melihat ada banyak bendera dan umbul-umbul merah putih dijual di pinggir jalan. Pemandangan khas di bulan Agustus di banyak kota di Indonesia. Di kampung-kampung mulai ada kerjabakti membersihkan lingkungan fisik. Muka-muka gang kembali dihias. Adu keren, adu kreatif. Pertandingan olahraga antar Rukun Tetangga pun tiba digelar. Aktivitas warga kampung menggeliat demi memperingati satu hari yang dipercaya sebagai tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia.
Seorang kawan almarhum pernah berkata, coba kau perhatikan, kurang setia apa warga bangsa ini pada negaranya. Setiap 17 Agustus dengan sukarela penuh suka cita mereka memperingatinya. Jangan kau tanya sedalam apa mereka memaknainya, tapi coba kau renungkan betapa mereka setia mengingat ada satu hari yang dianggap penting untuk selalu mereka ingat. Apa gak kurang ajar terus-terusan mengkhianati mereka?
Kemerdekaan masih menjadi sebuah harapan. Kita masih bisa menyaksikan berbeda pemikiran dianggap musuh, berbeda keyakinan dikriminalkan, berbeda orientasi seksual dituding sesat. Tempat beribadah dibakar, dan perbedaan dinihilkan. Atas nama agama segerombolan orang mencederai orang lain. Pilihan hidup masih begitu sempit. Kita bahkan belum merdeka untuk memaknai kemerdekaan itu sendiri.