Selingan – Antropologi Bisa Membawamu ke Banyak Dunia: Takdir, Mimpi atau Ilusi?

Photo by Sadikin Gani

Saya merasa kesulitan menjawab kenangan baik apa yang paling berkesan selama kuliah di Jurusan Antropologi Unpad dan menjadi anggota HUMAN (Huria Mahasiswa Antropologi). Bisa jadi karena terlalu banyak, sehingga jadi tampak biasa-biasa saja. Sebaliknya, jika ditanya apa yang paling membuat tidak nyaman, segera saya bisa menjawab. Inferioritas mahasiswa antropologi!

Semasa kuliah (1990-1997) begitu sulit menemukan sikap bangga dan percaya diri dari mahasiswa antropologi atas pilihannya belajar di jurusan ini. Bisa dimengerti, karena mereka kebanyakan adalah “buangan” yang tidak lolos seleksi masuk jurusan-jurusan favorit seperti ekonomi dan hukum. Inferioritas itu semakin menjadi tatkala dihadapkan pada kenyataan sangat sedikitnya lapangan pekerjaan yang secara khusus membutuhkan lulusan antropologi. Ditambah cerita-cerita (entah benar atau tidak) para lulusannya yang mengalami kesulitan memasuki lapangan dan bidang pekerjaan yang benar-benar “ngantrop”. Meski tidak jelas juga apa pekerjaan yang benar-benar “ngantrop” itu, kecuali jadi pengumpul kuesioner dan wawancara lapangan.

Mengapa masih bertahan dan menyelesaikan kuliah hingga akhir? Mengapa tidak sesegera mungkin keluar dari antropologi dan mengejar bidang studi lain yang dianggap lebih menjanjikan masa depan gilang-gemilang bertabur bintang? Di angkatan saya (1990), tidak lebih dari lima orang memutuskan keluar dan pindah studi. Selebihnya, dan kebanyakan mahasiswa memilih bertahan dalam “kungkungan inferioritas” lengkap dengan perasaan ketidakpastian atas apa yang bisa diperbuat setelah menyelesaikan kuliah.

***

Kuliah untuk memperoleh pengetahuan dengan kuliah untuk mendapatkan pekerjaan dua hal yang berbeda. Memperoleh pekerjaan sebagai konsekuensi kemampuan seseorang dengan mendapatkan pekerjaan berbekal ijazah pendidikan tertentu tidaklah sama.

Perbedaan-perbedaan itu tampaknya tidak disadari oleh banyak mahasiswa antropologi—setidaknya yang segenerasi dengan saya—yang umumnya mengandalkan pada ijazah sebagai modal untuk memperoleh pekerjaan. Kemungkinan besar, dan sudah cukup terbukti banyak menghadapi kendala dalam mengakses pekerjaan. Apalagi jika hanya bermodalkan kemampuan pas-pasan, miskin koneksi, tak pernah berorganisasi, gak gaul di luar himpunan jurusan, dan tak memiliki patron (atau anti patronase?) yang dapat mengantarkan ke bidang pekerjaan tertentu. Entah itu pekerjaan permanen maupun temporer—dari satu projek ke projek lainnya.

Berdasarkan pengalaman, kebanyakan orang segera mengerutkan kening ketika tahu kita mengambil kuliah di jurusan antropologi. “Antropologi? Nanti kerjanya di mana? Tetangga saya saja yang kuliah di antropologi sudah 3 tahun menganggur!” Atau, “mau jadi apa kuliah di antropologi? Kenapa tidak kuliah di jurusan ekonomi atau hukum yang lebih jelas masa depannya?”

Agak sulit untuk menanggapi pertanyaan dan pandangan seperti itu. Meski kesulitannya lebih pada sekian banyak hal yang harus kita jelaskan sebelum kita sampai pada jawaban inti. Mau tidak mau kita harus menjelaskan di awal apa itu antropologi sambil tidak jarang kita pun harus meluruskan pandangan yang menyamakan antropologi dengan arkeologi, bahkan astronomi.

Mungkin tidak terlalu salah orang memandang antropologi secara sesat jika jurusan antropologi sebagai sebuah institusi memang masih miskin memberikan penjelasan tentang itu. Masih sedikit tulisan (produk antropologi Unpad) yang merefleksikan antropologi kekinian sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Atau, kalaupun memberikan penjelasan, mungkin masih berputar-putar di kajian antropologi masa lalu tanpa disertai upaya mengkontekstualkannya dengan kekinian. Akibatnya, antropologi seolah-olah tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan perkembangan masyarakat kekinian. Tak mengherankan jika saya pernah mendengar keluhan sekaligus kegusaran seorang dosen antropologi senior (1993), karena rekan dosennya sama sekali tidak mengetahui satu isu yang tengah hangat dibicarakan di kalangan ilmuwan sosial dunia saat itu: tesis Huntington tentang benturan peradaban. Dan sepengetahuan saya tak ada seorang dosen antropologi pun kala itu yang membuat tanggapan tentang isu yang cukup menggegerkan itu.

Kembali ke soal inferioritas. Inferioritas muncul disebabkan oleh lemahnya posisi tawar disiplin antropologi untuk bersaing dengan disimplin ilmu lain. Menjadi semakin lemah, karena lulusannya tidak berusaha keluar dari mitos sempitnya lapangan pekerjaan lulusan antropologi. Mengapa mitos itu muncul, karena jurusan antropologi belum mampu memberikan cakrawala baru yang lebih kekinian dengan mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial, perkembangan kajian di bidang-bidang non-antropologi, dan teknologi. Antropologi memang belajar kebudayaan. Tapi bukan berarti lapangan pekerjaan antropologi cuma di departemen kebudayaan, jadi peneliti, penggiat LSM, atau di museum.

***

Bagaimana keluar dari kondisi ini? Saya akan mencoba menjawab dengan pengalaman. Mudah-mudahan cukup tepat.

Menjadi peneliti sosial dan mengajar tampaknya adalah pekerjaan menarik. Setidaknya saya memikirkan itu ketika semester empat. Usai kuliah, meski tak berumur lama saya sempat menjalani keduanya. Setelah dilalui, sungguh berat. Keharusan untuk terus belajar dan mengkonsumsi banyak buku tak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan beban itu, saya cukup tahu diri untuk tidak melanjutkan dua pekerjaan itu. Cukup sudah menjalani enam tahun pekerjaan sebagai peneliti dan 3 tahun mengajar di dua perguruan tinggi swasta.

Sejak 2007 saya memutuskan untuk tidak berkantor dimanapun. Beruntung, berkat sedikit keahlian yang saya pelajari di luar antropologi—new media dan ecommerce—saya bisa membuka usaha kecil-kecilan. Punya beberapa klien dan menjadi konsultan untuk pengembangan new media dan ecommerce di perusahan-perusahaan swasta dan lembaga multilateral.

Apakah pekerjaan saya nyambung dengan latar belakang pendidikan saya? Jawabannya, tidak. Saya tidak pernah memperoleh pelajaran TI (teknologi informasi) dan new media dia jurusan antropologi. Pengetahuan itu saya peroleh sendiri. Namun, wawasan antropologi mendapat peran di situ. Ketika saya mengerjakan website dan ecommerce pekerjaan saya bukan hanya sebagai tukang yang sepenuhnya mengerjakan hal-hal teknis. Saya memasukan pengetahuan antropologi saat memberi konsultasi, misalnya saja tentang aplikasi website dan fitur-fitur ecommerce apa saja yang sesuai dengan perilaku dan kebiasaan orang yang menjadi target pasar sebuah perusahaan.

Demikian pula di bidang fotografi yang saya jalani. Alasan-alasan antropologis lebih dominan daripada alasan fotografinya itu sendiri. Ketika saya membuat satu buku foto untuk sebuah hotel di Padang, lebih banyak didasari keinginan untuk menampilkan aspek budaya orang Minang daripada membuat karya seni fotografi. Sama halnya saat saya menekuni street photography dan fotografi perjalanan. Keinginan untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat menjadi pijakannya. Fotografinya itu sendiri adalah alat.

Tak jauh berbeda ketika saya memasuki dunia fashion dan membangun media fashion, The Actual Style, dan belakangan media lifestyle The EDIT Post. Bukan keglamoran yang menjadi daya tarik utama, tetapi proses kreatif di balik fashion, orang-orang yang terlibat di dalamnya, para pengrajin, dan kaitannya dengan dinamika ekonomi global. Meski tidak sepenuhnya, cara pandang dan wawasan itu sangat dipengaurhi oleh latar belakang pendidikan saya di antropologi.

Dari sekian banyak pengalaman—meski tak bisa dipaparkan secara rinci di sini—saya sampai pada kesimpulan bahwa wawasan antropologis jauh lebih penting daripada ijazah antropologi.

***

Tulisan ini sebelumnya dibuat untuk buku kompilasi Alumni Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (sudah terbit pada 2014). Judul awal “Antropologi Bisa Membawamu ke Banyak Dunia” diberi tambahan kalimat “Takdir, Mimpi atau Ilusi?”. Perubahan diinspirasi oleh tulisan Robb Young, A Couture Stage Beyond Paris: Destiny, Dream or Delusion?”



Comments are closed.